Selamat Datang


 Blog
Main » 2009 » February » 2 » IZIN
IZIN
9:38 AM
MANUSIA itu makhluk paling unik. Selain itu, logikanya sering kacau, sehingga suka menarik kesimpulan sendiri: “Tuhan tidak adil, tidak memihak yang lemah dan teraniaya.” Ia memandang adil atau baik dan kacamata sendiri, bukan sesuai kehendak Ilahi.
Ketidakadilan itu pula yang disoal seorang ibu, kala dua bayinya yang lucu meninggal. “Kenapa bukan anak orang lain,” katanya menggugat Tuhan. Ia tak rela. ltulah buah kegamangan iman jika cinta pada sesama melebihi kepada Allah.
Berbeda dengan sikap Barakah ‘Abidah di Arabia. Ia sukses. “Namun, aku masih saja khawatir kalau-kalau penghasilanku sama sekali tidak berarti di hadapan Allah. Karena itu, aku pun sedih seraya berpikir, sekiranya Allah memang benar-benar menginginkan kekayaanku, Dia pasti bakal membinasakan harta dan anak-anakku,” katanya.
Benar saja. Akhirnya, baik anak-anak maupun hartanya tidak tersisa. “Namun, semuanya toh malah membuatku bahagia. Aku curiga, jangan-jangan Allah menginginkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagiku melalui berbagai macam ujian ini. Dan inilah cara-Nya mengingat diriku serta menjadikan jiwaku suci,” ujarnya.
Menyucikan harta juga dilakukan seorang wanita nonmuslim asal Sumatera. Ia senang membelikan peti mati pada keluarga yang tak mampu. Tiap minggu, dua atau tiga peti pasti disumbangkan. “Saya merasa nikmat sekali setelah membantu mereka,” katanya.
Namun, kenikmatan itu ada yang mengganjal. Soalnya, uang untuk membeli peti mati itu bukan jerih payah sendiri, melainkan hasil keringat suami. “Saya ingin bisnis sendiri agar bisa membelikan peti mati untuk orang-orang tak mampu,” ujarnya.
Rasanya, jika pemberian itu seizin suami, makna dan barokahnya tetap sama, tanpa ada ganjalan. Persis kisah Narada di pewayangan. Dia putra seorang pembantu. Dia tidak terdidik. Kadang, jika ibunya berhalangan, dia pula yang melayani para resi.
Dalam Srimad-Bhagavata diuraikan bahwa Narada, yang mencuci piring bekas makan para penyembah mulia itu, ingin mencicipi sisa-sisa makanan. Ia pun minta izin kepada para resi. “Bolehkah saya makan makanan sisa ini,” kata Narada penuh harap. Diizinkan.
Rupanya, izin itulah yang membebaskannya dan segala reaksi dosa. Rupanya, sisa makanan para resi itu pula yang berangsur-angsur membuat hati Narada sesuci mereka. Bahkan, melalui pergaulan itu, minat hatinya untuk memuji kebesaran Tuhan berkembang pesat.
Cerita tentang izin juga mengingatkan seorang budak cantik bernama Tuhfah di abad IX. Ia tak mengenal tidur maupun makan. Kala kondisinya makin gawat, majikannya mengirim dia ke rumah sakit jiwa. Kendati ia berpakaian mewah dan wangi, kedua kakinya dirantai. Ia sering melantunkan bait-bait syair cinta.
Wahai, aku tidak gila tapi hanya mabuk!
Kalbuku sadar betul dan amat bening.
Satu-satunya dosa dan kesalahanku ialah dengan tidak tahu malu menjadi kekasih-Nya...
Dan, setelah itu, Tuhfah pingsan. Begitu siuman, ia ditanya siapa yang engkau cintai? “Aku mencintai Zat yang membuatku sadar akan anugerah, yang berbagai macam karunia-Nya menyebabkanku dikenai kewajiban, yang dekat dengan segenap kalbu, yang mengabuikan orang-orang yang membutuhkan,” ujarnya.
Syaikh Al-Saqati yang mendengar syair itu tergetar. Ia menyimpulkan, Tuhfah tidak gila, dan memintanya pergi ke mana saja. Tapi, gadis itu menjawab: “Aku hanya akan pergi jika majikanku mengizinkan. Kalau tidak, aku akan tetap di sini.”“Demi Allah,” kata Al-Saqati dalam hati, “ia Iebih bijak ketimbang diriku.”
Tanpa disangka-sangka, majikan Tuhfah datang. Ternyata, wanita yang mahir menyanyi dan bermain harpa itu dibelinya 22.000 dirham. “Semua kekayaan dan modalku habis,” katanya. Ia berharap untung. Ternyata, Tuhfah justru sering termenung, menangis, dan membuat orang lain tidak bisa tidur.
Itu sebabnya, dia dijebloskan ke rumah sakit jiwa. Jika begitu, “Berapa pun harga yang kau minta, akan kubayar,” kata Al-Saqati kepada majikan Tuhfah. Tawaran itu dicemoohkan. Memang, Al-Saqati tak punya uang sedirham pun saat itu. Sembari berlinang air mata, ia pulang ke rumah.
Malam itu pula, pintu rumah Al-Saqati diketuk orang. Orang itu, yang menyebut dirinya Ahmad Musni, membawa lima pundi uang. Ia datang atas bisikan “suara gaib” agar Al-Saqati bisa membebaskan Tuhfah. Kontan, Al-Saqati bersyukur mencium tanah. Esoknya, ia gamit tangan tamunya menuju rumah sakit.
Tak urung, penebusan itu membuat mata Tuhfah berlinang. Di saat itu pula, majikan Tuhfah datang sembari meratap dan menangis. Aneh!
Janganlah menangis, “Harga yang kau minta telah kubawakan -- dengan keuntungan lima ribu dinar,” kata Al-Saqati
(Wanita-wanita Sufi, Dr.Javad Nurbakhsh).
“Demi Allah, tidak,” kata majikan Tuhfah. Al-Saqati menambah keuntungan 10.000 dinar. Lagi-lagi dijawab, “Tidak, Tuan.” “Sekiranya Anda memberiku seluruh dunia ini untuk membelinya, aku tidak akan menerimanya,” ia menambahkan. Ia ingin membebaskan Tuhfah tanpa penebusan. Budak itu pun pergi dengan linangan air mata.
Waktu pun berlalu. Al-Saqati, majikan Tuhfah, dan Ahmad Musni menunaikan haji. Tapi, di perjalanan, Ahmad wafat. Kala tawaf mengelilingi Ka’bah, Al-Saqati mendengar ratapan aneh nan pilu, jerit kesedihan dan hati yang terluka. Namun, ia tak mengenalinya. “Maha Suci Allah! Tidak ada Tuhan selain Dia. Dulu aku pernah dikenal. Kini aku tidak dikenal lagi. Ini aku, Tuhfah,” katanya.
Masya Allah! Begitu diberitahu bahwa mantan majikannya juga sedang berhaji, gadis itu berdoa sebentar, lalu roboh di samping Ka’bah dan wafat. Tak lama setelah itu, mantan majikannya yang sedih melihat Tuhfah telah tiada terjatuh di samping Tuhfah, lalu meninggal pula. Tentu, takdir di depan rumah Allah ini seizin-Nya jua.
Views: 514 | Added by: admin | Rating: 0.0/0 |
Total comments: 0
Name *:
Email *:
Code *:
Thursday
2024-04-25
11:58 PM
Calendar
«  February 2009  »
SuMoTuWeThFrSa
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
Halaman Login
Welcome Guest!
Halaman Chat
Polling
Bagaimana Website Saya?
Total of answers: 4
Mysite

Copyright MyCorp © 2024
Free web hostinguCoz